
Ternate, Maluku Utara — Bidang Hukum (Bidkum) Polda Maluku Utara menggelar rapat klarifikasi terkait status kepemilikan tanah milik Polri yang terletak di Kelurahan Ubo-Ubo, Kota Ternate. Pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Bidkum Polda Malut pada Jumat (18/7) ini dihadiri oleh perwakilan LBH Ansor dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ternate.
Kabidkum Polda Malut dalam penjelasannya menyampaikan kronologi kepemilikan tanah yang awalnya dikuasai oleh Kompi Brimob sejak 1969, dengan surat ukur diterbitkan pada 1971. Setelah Kompi Brimob dilebur dan Polres Maluku Utara dibentuk, aset tanah tersebut beralih menjadi milik institusi Polri dan kini tercatat sebagai aset resmi Polda Malut.
Namun, pada masa konflik sosial tahun 1999, sertifikat asli tanah tersebut dilaporkan hilang. Sertifikat pengganti baru diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2006, tanpa perubahan terhadap subjek dan objek hak. Saat ini, sebagian besar lahan ditempati oleh warga, termasuk purnawirawan dan ahli waris, serta ditemukan adanya praktik jual beli ilegal.
Kabidkum menegaskan bahwa tanah tersebut telah terdaftar dalam Sistem Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN) dengan estimasi nilai mencapai Rp 50 miliar. Ia juga menanggapi pemberitaan terkait surat somasi yang dilayangkan kepada warga.
“Surat tersebut bersifat pemberitahuan, bukan bentuk intimidasi. Kami mengajak semua pihak menjaga situasi tetap kondusif dan berharap LBH Ansor dapat memberikan klarifikasi atas pemberitaan sebelumnya,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan LBH Ansor menyatakan pentingnya dilakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman di lapangan. Mereka juga meminta agar dokumen pendukung ditampilkan dalam kegiatan sosialisasi untuk menjamin transparansi informasi.
“Kami mendukung upaya damai dan siap membantu menyampaikan klarifikasi ke media. Kami juga mengapresiasi Kapolda Malut yang telah menempuh pendekatan persuasif dalam menangani persoalan ini,” ujar perwakilan LBH Ansor.
Sementara itu, Kepala Kantor Pertanahan Kota Ternate, Arman Anwar, memperkuat pernyataan Polda bahwa penguasaan tanah oleh Polri telah berlangsung sejak 1969, dengan sertifikat pertama diterbitkan pada 1989. Ia menegaskan bahwa dokumen tahun 2006 hanya merupakan sertifikat pengganti, bukan dokumen baru.
“Kami telah membahas masalah ini secara lintas sektor bersama Polda, Pemkot, dan akademisi. Kami siap memfasilitasi penyelesaian secara adil dan berdasarkan aturan hukum,” pungkas Arman.
Pertemuan berlangsung terbuka dan kondusif, menjadi bagian dari komitmen semua pihak untuk menyelesaikan sengketa tanah secara damai dan mengedepankan pendekatan hukum yang berkeadilan.